Karakteristik dan Deskripsi Citarasa Kopi

Kopi merupakan jenis minuman dengan citarasa sangat khas. Dengan citarasanya yang khas ditambah adanya pengaruh fisiologis kesegaran setelah minum menyebabkan kopi banyak diminati oleh konsumen di seluruh dunia. Pada umumnya kopi dikonsumsi bukan karena nilai gizinya, melainkan karena nilai citarasa dan pengaruh fisiologisnya tersebut.
Biji kopi beras belum mempunyai karakter citarasa khas kopi tetapi hanya mengandung senyawa-senyawa prekursor (calon) pembentuk citarasa. Karakter citarasa kopi baru terbentuk setelah biji kopi disangrai . Selama penyangraian terjadi reaksi kimiawi yang kompleks sehingga terbentuk komponen-komponen kimiawi pembentuk karakter kopi yang bersifat khas. Sampai saat ini telah dapat dideteksi lebih dari 800 senyawa kimia pembentuk aroma, di samping itu masih banyak komponen-komponen yang belum dapat dideteksi, termasuk senyawa¬-senyawa non volatil4.

Karakteristik kopi sangat kompleks dan sampai saat ini hanya dapat dinilai berdasarkan uji inderawi, karena belum tersedia metode penilaian kuantitatif menggunakan alat yang dapat menilai karakter kopi secara penuh. Beberapa komponen kimiawi tertentu dinilai dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam penilaian karakter kopi, tetapi karena kompleksnya karakter kopi maka penilaian berdasarkan uji kimiawi tersebut belum dapat menggantikan uji organoleptik. Penilaian secara kuantitatif dinilai masih relatif mahal dan prosedurnya lebih rumit dibanding dengan penilaian organoleptik.

Analisis gabungan antara metode kuantitatif dan organoleptik, Gas chromatography-Olfactory (GC-0) akhir-akhir ini telah digunakan mendeteksi senyawa kimiawi pembentuk aroma. Beberapa senyawa telah dapat dibuktikan mempunyai hubungan dengan sifat aroma tertentu. Senyawa kimiawi seperti furaneol, sotolon dan abhexon berhubungan dengan aroma karamel-manis, sedangkan alkylpyrazines, guaiacols, dan 2-methylisoborneol diketahui berhubungan dengan sifat spicy dan harsh-earthy seperti pada kopi Robustas's. Masih banyak komponen kimiawi yang telah dideteksi berhubungan dengan sifat aroma tertentu, tetapi analisis kimiawi tersebut belum dapat menggantikan analisis sensor organ inderawi yang begitu kompleks.

Pada tahun 1991 telah dirancang 'hidung tiruan' (aritificial nose), yang diharapkan dapat mengukur komponen aroma secara kualitatif maupun kuantitatif. Alat tersebut menggunakan beberapa sensor gas yang diketahui mempunyai rentang kepekaan terhadap komponen-komponen kimia tertentu. Dengan menggunakan komputer, hasil deteksi sensor gas dianalis dan ditampilkan sesuai dengan yang dideteksi oleh sensor. Akan tetapi alat tersebut belum dapat mendeteksi sifat-sifat karakter aroma secara total dan belum dapat berfungsi sebagai hidung secara penuh